Selasa, 14 Juni 2016

KRITIK SASTRA DAN ANALISIS DALAM PUISI CATETAN TH. 1946 KARYA KHAIRIL ANWAR

KRITIK SASTRA DAN ANALISIS DALAM PUISI CATETAN TH. 1946  KARYA KHAIRIL ANWAR




logo AL Ghifari.png






Oleh :
PATRIA SUPRIYOSO
NIM A1A 150.200



UNIVERSITAS  AL GHIFARI  BANDUNG
2016


CATETAN TH. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!

(Deru Campur Debu, 1959).

PENDAHULUAN
Latar belakang
Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut, kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali. Kendala umum dalam laman yang dikelola secara kolektif (seperti Mediasastra dan IndoPROGRESS) adalah dalam hal basis produksi. Sebagian besar penggiatnya adalah relawan yang harus membagi antara kerja “profesional” dengan kerja “pro bono”. Akibatnya, media-media ini keteteran dalam hal menjaga ritme serta kualitas terbitan. (http://indoprogress.com/2014/06/kritik-sastra-dan-sastra-populer/)
Kritik sastra formal memang baru dikenal pada 1932 lewat terbitnya majalah Pandji Poestaka, namun Balai Pustaka sebenarnya sudah menjalankan salah satu fungsi kritik, yakni penilaian suatu karya sebagai baik atau buruk berdasarkan standar-standar tertentu. Standar ini, disebut Nota over de Volkslektuur (nantinya lebih dikenal sebagai Nota Rinkes), adalah standar seleksi kelayakan suatu karya untuk diterbitkan.

Kritik adalah kecaman yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar. Sastra merupakan karya tulis yang memiliki nilai seni. Oleh sebab itu, kritik sastra dapat diartikan sebagai kecaman terhadap karya tulis yang memiliki nilai seni yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar. Namun, kritik sastra juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk penyelidikan yang langsung berurusan dengan suatu karya sastra tertentu. Selain menimbang bernilai atau tidaknya suatu puisi, penyelidikan ini juga menjernihkan segala macam persoalan yang meliputi karya sastra itu dengan memberikan penafsiran, penjelasan, dan uraian (Hardjana, 1985:37).
Kritik sastra mampu menunjukkan nilai suatu karya tertentu secara tepat dan cemerlang, meniadakan persoalan-persoalan yang sulit dan rumit meliputi karya tersebut melalui penjelasan, uraian, bahkan penafsiran (Hardjana, 1985:43). Kerumitan-kerumitan yang dimaksud kurang pahamnya pembaca dalam menilai suatu karya sastra. Hal ini menyebabkan karya yang dinilai baik pun belum tentu mendapatkan sambutan yang baik pula dari pembaca. Disinilah fungsi dari kritik sastra. Apabila seorang kritikus mampu memberikan penjelasan mengenai metafora-metafora tertentu, simbol-simbol yang ada, ataupun makna di dalam suatu karya sastra, pembaca tentu akan lebih mudah untuk memahami karya sastra.




Analisis Puisi Berdasarkan Model Pendekatannya  terhadap Karya Sastra
Berdasarkan model pendekatan terhadap karya sastra, kritik sastra digolongkan menjadi empat tipe:
1.      Kritik Mimetik (Mimetic criticism) Dalam buku ”Prinsip-prinsip Kritik Sastra”, menyebutkan bahwa kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia. Kriteria yang utama dikenakan pada karya sastra adalah ”kebenaran” penggambarannya terhadap objek yang digambarkan atau hendak digambarkan .
2.      Kritik Pragmatik (Pracmatic criticm) Kritik ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang disusun yang mempunyai tujuan untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik cenderung menimbang nilai karya sastra sesuai dengan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut
3.      Kritik Ekspresif.  Kritik ekspresif mendefinisikan puisi sebagai ekspresi, curahan, ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair. Kritik ini menghubungkan karya sastra dengan pengarang.
4.      Kritik Objektif Kritik ini menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, pambaca, dan dunia sekitarnya. Kriteria utama dalam kritik objektif adalah kriteria intrinsik . (Pradopo, 2003:192-193)








Analisi Puisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar dengan Pendekatan Analitik dan Pendekatan Ekspresif

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,                                           1
kata konotasi, imaji visual, imaji taktil
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,                                2
kata konotatif, imaji visual
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.                              3
kata konotatif, imaji auditif, imaji taktil
Ku pahat batu nisan sendiri dan kupagut                                           4
kata konkret, imaji visual

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian sandiwara sekarang. 5
kata konotatif, imaji visual
Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang        6
kata konkret, imaji visual, imaji taktil
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu                                 7
kata konotatif, imaji visual
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.                              8
kata konkret, imaji visual

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu                                               9
kata konotatif, imaji taktil
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu                         10
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil                                               
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat,           11
kata konotatif, imaji visual, taktil                                                        
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah,                      12
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah! 13
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil

Untuk mengemukakan ide abstrak, dalam puisi ini digunakan bahasa-bahasa kiasan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai makna dan amanat yang ingin disampaikan. Pada bait pertama puisi “CATETAN TH. 46” ditemukan majas sinekdoki pars pro totoyaitu pada kata ‘tangan’. Tangan di sini mewakili seluruh bagian tubuh si aku. Selain itu, majas ini juga di temukan pada /….suara yang ku cintai…/. Suara di sini mewakili orang-orang yang dicintai oleh si aku seperti anak, istri, ibu atau suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup. Pada baris kelima ditemukan majas metafora. Dalam kata-kata itu kita diibaratkan sebagai anjing yang diburu, dengan arti lain kita tidak punya waktu untuk bersantai-santai. Kata anjing juga menjelaskan kita bahwa pada saat itu sedang berada dalam situasi yang kacau.
Pada bait ke-3, perang yang telah usai  dikonkretkan melalui majas sinekdoki pars pro toto  pada /jika bedil sudah disimpan…/ dan kenangan yang penuh dengan kesedihan di metaforakan dengan /…kenangan berdebu../. Pada baris ke-11 dijumpai pula majas metafora. Kata ‘memburu’ digunakan untuk menyatakan pekerjaan mencari arti itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, metafora‘kertas gersang’ di gunakan untuk menyatakan kehidupan yang masih kosong.
Untuk menciptakan keindahan dan efek-efek tertentu dalam puisi “CATETAN TH. 46” digunakan sarana retorika. Pada puisi angkatan 45 dikenal banyak menggunakan hiperbola. Dalam puisi ini pula ditemukan sarana retorika hiperbola pada baris ke-7. Pada baris itu makna yang ditimbulkan terlalu berlebihan. Selain itu pada baris ke-12 yang terdapat sarana retorika hiperbola. /Jangan mengerdip/ disini berarti kita harus berusaha penuh perhatian hingga mata pun tidak sempat mengerdip dankertas gersang’ untuk menyatakan kehidupan yang masih kosong, bersih belum diisi apapun.
Di tinjau dari persajakannya (rima), pada baris pertama  ditemukan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Misalnya pada bait pertama memiliki rima abab. Pada bait kedua dijumpai keindahan rima akhir pada baris pertama dan kedua. Bait kedua pada puisi ini memiliki rima aabc. Pada bait terakhir memiliki rima aabcc. Puisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar merupakan puisi baru yang tidak terikat oleh aturan-aturan puisi lama. Terlihat pada sajaknya yang cukup berantakan, yaitu bait pertama bersajak abab, bait kedua bersajak aabc, dan bait ketiga bersajak aabcc.
Dalam puisi ini digunakan pula perulangan bunyi alitrasi (perulangan bunyi konsonan) kabut-kupagut, sekarang-ranjang, asah-basah dan asonansi (perulangan bunyi vokal) terkulai-belai, diburu-berdebu. Bahasa yang dipakai adalah bahasa kias. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang digunakan, bahkan hampir semua kalimatnya merupakan makna konotatif. Selain itu banyak pula dijumpai gaya sinisme, sehingga untuk memahami puisi Chairil Anwar diperlukan penjiwaan yang kuat dan tidak dapat dimaknai begitu saja.
Puisi ini merupakan puisi yang bersifat patriotik. Dari judulnya saja CATETAN TH. 46, mengingatkan kita pada peristiwa kesejarahan. Untuk mengetahui makna puisi lebih jelas, akan diapresiasi dari segi semantiknya.
Misalnya pada baris pertama, kata tangan mewakili keseluruhan diri si aku. Baris ini menyatakan diri si aku yang tidak berdaya. Kata tangan dipilih karena tangan merupakan pusat dari seluruh kegiatan tubuh. Jika tangan sudah lemah, maka kegiatan tubuh pun ikut terganggu sehingga orang tak mampu bekerja dan berusaha lagi.
Pada baris kedua, pandangan si aku mulai kabur, dan tidak dapat melihat apapun yang menyenangkan. Baris ketiga bermakna si aku mulai kehilangan orang-orang yang dicintai dan segala sesuatu yang membuatnya hidup. Pada baris keempat maksudnya, si aku membuat suatu karya untuk menyatakan bahwa dirinya pernah hidup dan pernah ada di dunia. Karya tersebut diciptakan agar ia tetap dikenang orang lain meskipun telah meninggal.
Pada baris kelima, kata anjing menjelaskan bahwa kita sedang ada dalam situasi yang kacau, seperti anjing tidak mempunyai kehormatan dan dipandang rendah. Sedangkan kata diburu berarti kita tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai, istirahat merasa gelisah dan penuh ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kejadian atau peristiwa yang kita lihat hanya sedikit saja. Kita tidak dapat melihat suatu peristiwa selengkapnya, tidak dapat menyaksikan kehidupan ini secara utuh.
Hal ini depertegas pada baris keenam. Seperti halnya drama Romeo dan Juliet, tidak sampai selesai sehingga kita tidak tahu mereka betemu di ranjang atau di kuburan.
Pada bait terakhir bermakna lahirnya seorang pahlawan membawa korban matinya beratus ribu rakyat. Oleh karena itulah peristiwa tersebut harus dicatat dan diingat. Setelah merdeka, kita tidak perlu takut akan penjaja Jika perang telah selesai, hanya kenangan menyedihkan yang tertinggal dan itu adalah masa lalu. Setelah perang, segalanya terserah kepada kita. Apakah kita akan bersungguh-sungguh mengejar arti hidup ini, yaitu bekerja keras, berjuang demi pribadi dan kemanusiaan atau menyerahkan nasib pada generasi penerus. Oleh karena itu jangan bersantai-santai, bekerja keraslah dan berusaha perhatian hingga tidak sempat mengerdipkan mata, yang berarti pula menyelami kehidupan dengan sungguh-sungguh. Bekerja keras untuk mengisi kehidupan yang masih kosong, belum ada isinya. Bekerja demi kehidupan dan untuk hidup di dalam kehidupan ini.

Analisis SemiotikPuisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar
Analisis semiotik adalah analisis sajak yang bertujuan memahami makna sajak. Menganlisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Dalam analisis semiotik ini menggunakan analisis matrik atau kata kunci yang terdapat dalam sajak, analisis heurustik dan hermeneutik atau penafsiran interprestasi / pemahaman teks.
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Dalam sajak “Catetan TH. 1946” tersebut pada baris pertama dipergunakan sinekdoki pars pro toto yaitu “tangan” untuk menyatakan keseluruhan diri si aku. Tangan yang jemu terkulai menyatakan diri si aku yang tak berdaya. Dipergunakan itu karena tangan itu merupakan pusat kekuatan bekerja. Jika tangan terkulai berarti seluruh diri akan tak berdaya, dalam arti orang sudah tidak dapat bekerja dan berusaha lagi. Begitu juga suara (bait pertama baris ketiga) menyatakan orang yang memiliki suara itu, yaitu kekasih, istri, anak, atau orang-orang yang dicintai. Suara merupakan pusat perhatian yang paling menarik hati si aku, maka itulah yang ditonjolkan. Lebih jauh lagi, suara yang dicintai itu dapat berarti suara-suara kehidupan sendiri yang dicintai oleh si aku, suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup.

Citraan
Citra visual / penglihatan. Citra visual yang konkret terdapat dalam sajak “Catetan TH. 1946” yaitu terletak pada “mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut”. Begitu juga untuk mengkongkretkan tanggapan bahwa si aku sendiri mesti membuat kenangan (peringatan) bagi dirinya sendiri, untuk menyatakan bahwa dirinya pernah ada, pernah hidup di dunia.







PENUTUP
Sebelum dilakukan analisi karya sastra perlu dipahami maknanya dengan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan berupa heuristic  dan pembacaan retroaktif  atau hermeneutic.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau hermeneutika adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaannya, tetapi juga makna (significance) kesastraannya.
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak tersebut belum lengkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua.
Setelah memahami makna puisi di atas, kita tahu bahwa melalui puisi tersebut penyair ingin bercerita tentang keadaan pada saat itu. Banyak sekali nilai-nilai kehidupan dan perjuangan yang terkandung dalam puisi “CATETAN TH. 46”. Puisi ini memberi tahu kita tentang keadaan saat Indonesia dijajah dan tindakan setelah kemerdekaan. Pada masa penjajahan, suasana sangatlah kacau, diselimuti rasa takut dan gelisah. Banyak korban berjatuhan hanya untuk merebut kemerdekaan. Setelah kemerdekaan diraih, kita wajib mengisinya dengan hal-hal yang positif.selalu bekerja keras dan berusaha untuk hidup. Tidak menyerahkan nasib begitu saja kepada generasi muda yang sedang memimpin pemerintahan pada saat itu. Selain itu tidak lupa pula kita harus mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan, berkat kegigihan mereka kita dapat merasakan indahnya hidup di era kemerdekaan

Referensi
Anwar, Chairil. 2006.  Deru Campur Debu. Jakarta : Dian Rakyat
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta. Gramedia
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



1 komentar:

  1. Baccarat | Unbiased Reviews from a US Online Casino
    The Baccarat card game 바카라 사이트 is quite similar to the conventional American version. Instead of a hand of worrione 10 hands 인카지노 each of players is dealt two cards and a five

    BalasHapus