KRITIK
SASTRA DAN ANALISIS DALAM PUISI CATETAN TH. 1946 KARYA KHAIRIL ANWAR

Oleh :
PATRIA SUPRIYOSO
NIM A1A 150.200
UNIVERSITAS AL GHIFARI
BANDUNG
2016
Ada tanganku, sekali akan jemu
terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi
diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!
(Deru Campur Debu, 1959).
PENDAHULUAN
Latar belakang
Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi
memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat
yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut,
kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali.
Kendala umum dalam laman yang dikelola secara kolektif (seperti Mediasastra dan
IndoPROGRESS) adalah dalam hal basis produksi. Sebagian besar penggiatnya
adalah relawan yang harus membagi antara kerja “profesional” dengan kerja “pro
bono”. Akibatnya, media-media ini keteteran dalam hal menjaga ritme serta
kualitas terbitan. (http://indoprogress.com/2014/06/kritik-sastra-dan-sastra-populer/)
Kritik
sastra formal memang baru dikenal pada 1932 lewat terbitnya majalah Pandji
Poestaka, namun Balai Pustaka sebenarnya sudah menjalankan salah satu
fungsi kritik, yakni penilaian suatu karya sebagai baik atau buruk berdasarkan
standar-standar tertentu. Standar ini, disebut Nota over de Volkslektuur (nantinya
lebih dikenal sebagai Nota Rinkes), adalah standar seleksi kelayakan
suatu karya untuk diterbitkan.
Kritik adalah kecaman
yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar.
Sastra merupakan karya tulis yang memiliki nilai seni. Oleh sebab itu, kritik
sastra dapat diartikan sebagai kecaman terhadap karya tulis yang memiliki nilai
seni yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar.
Namun, kritik sastra juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk penyelidikan yang
langsung berurusan dengan suatu karya sastra tertentu. Selain menimbang
bernilai atau tidaknya suatu puisi, penyelidikan ini juga menjernihkan segala
macam persoalan yang meliputi karya sastra itu dengan memberikan penafsiran,
penjelasan, dan uraian (Hardjana, 1985:37).
Kritik sastra mampu
menunjukkan nilai suatu karya tertentu secara tepat dan cemerlang, meniadakan
persoalan-persoalan yang sulit dan rumit meliputi karya tersebut melalui
penjelasan, uraian, bahkan penafsiran (Hardjana, 1985:43). Kerumitan-kerumitan
yang dimaksud kurang pahamnya pembaca dalam menilai suatu karya sastra. Hal ini
menyebabkan karya yang dinilai baik pun belum tentu mendapatkan sambutan yang
baik pula dari pembaca. Disinilah fungsi dari kritik sastra. Apabila seorang kritikus
mampu memberikan penjelasan mengenai metafora-metafora tertentu, simbol-simbol
yang ada, ataupun makna di dalam suatu karya sastra, pembaca tentu akan lebih
mudah untuk memahami karya sastra.
Analisis
Puisi Berdasarkan Model Pendekatannya
terhadap Karya Sastra
Berdasarkan model
pendekatan terhadap karya sastra, kritik sastra digolongkan menjadi empat tipe:
1.
Kritik Mimetik (Mimetic criticism) Dalam buku
”Prinsip-prinsip Kritik Sastra”, menyebutkan bahwa kritik mimetik memandang
karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia luar dan
kehidupan manusia. Kriteria yang utama dikenakan pada karya sastra adalah
”kebenaran” penggambarannya terhadap objek yang digambarkan atau hendak
digambarkan .
2.
Kritik Pragmatik
(Pracmatic criticm) Kritik ini
memandang karya sastra sebagai sesuatu yang disusun yang mempunyai tujuan untuk
mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik cenderung menimbang
nilai karya sastra sesuai dengan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut
3.
Kritik Ekspresif.
Kritik ekspresif mendefinisikan puisi
sebagai ekspresi, curahan, ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi
penyair. Kritik ini menghubungkan karya sastra dengan pengarang.
4.
Kritik Objektif
Kritik ini menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari
penyair, pambaca, dan dunia sekitarnya. Kriteria utama dalam kritik objektif
adalah kriteria intrinsik . (Pradopo, 2003:192-193)
Analisi
Puisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar dengan Pendekatan Analitik dan
Pendekatan Ekspresif
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
1
kata konotasi, imaji visual, imaji
taktil
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
2
kata konotatif, imaji visual
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
3
kata konotatif, imaji auditif, imaji
taktil
Ku pahat batu nisan sendiri dan kupagut
4
kata konkret, imaji visual
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian sandiwara sekarang. 5
kata konotatif, imaji visual
Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
6
kata konkret, imaji visual, imaji
taktil
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
7
kata konotatif, imaji visual
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
8
kata konkret, imaji visual
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
9
kata konotatif, imaji taktil
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu
10
kata konotatif, imaji visual, imaji
taktil
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat,
11
kata konotatif, imaji visual, taktil
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah,
12
kata konotatif, imaji visual, imaji
taktil
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah! 13
kata konotatif, imaji visual, imaji
taktil
Untuk mengemukakan ide abstrak, dalam
puisi ini digunakan bahasa-bahasa kiasan untuk memberikan gambaran yang jelas
mengenai makna dan amanat yang ingin disampaikan. Pada bait pertama puisi
“CATETAN TH. 46” ditemukan majas sinekdoki pars pro totoyaitu pada kata
‘tangan’. Tangan di sini mewakili seluruh bagian tubuh si aku. Selain itu,
majas ini juga di temukan pada /….suara
yang ku cintai…/. Suara di sini mewakili orang-orang yang dicintai oleh si
aku seperti anak, istri, ibu atau suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup.
Pada baris kelima ditemukan majas metafora.
Dalam kata-kata itu kita diibaratkan sebagai anjing yang diburu, dengan
arti lain kita tidak punya waktu untuk bersantai-santai. Kata anjing juga menjelaskan kita bahwa pada
saat itu sedang berada dalam situasi yang kacau.
Pada bait ke-3, perang yang telah
usai dikonkretkan melalui majas sinekdoki pars pro toto pada /jika bedil sudah disimpan…/ dan kenangan
yang penuh dengan kesedihan di metaforakan dengan /…kenangan berdebu../. Pada baris ke-11 dijumpai pula majas
metafora. Kata ‘memburu’ digunakan untuk menyatakan pekerjaan mencari arti itu
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, metafora‘kertas gersang’ di
gunakan untuk menyatakan kehidupan yang masih kosong.
Untuk menciptakan keindahan dan
efek-efek tertentu dalam puisi “CATETAN TH. 46” digunakan sarana retorika. Pada
puisi angkatan 45 dikenal banyak menggunakan hiperbola. Dalam puisi ini pula
ditemukan sarana retorika hiperbola pada baris ke-7. Pada baris itu makna yang
ditimbulkan terlalu berlebihan. Selain itu pada baris ke-12 yang terdapat
sarana retorika hiperbola. /Jangan
mengerdip/ disini berarti kita harus berusaha penuh perhatian hingga mata
pun tidak sempat mengerdip dan ‘kertas
gersang’ untuk menyatakan kehidupan yang masih kosong, bersih belum diisi
apapun.
Di tinjau dari persajakannya (rima), pada baris pertama ditemukan
persamaan bunyi pada akhir kalimat. Misalnya pada bait pertama memiliki rima abab. Pada bait kedua dijumpai keindahan
rima akhir pada baris pertama dan kedua. Bait kedua pada puisi ini memiliki
rima aabc. Pada bait terakhir
memiliki rima aabcc. Puisi “CATETAN
TH. 46” karya Chairil Anwar merupakan puisi baru yang tidak terikat oleh
aturan-aturan puisi lama. Terlihat pada sajaknya yang cukup berantakan, yaitu
bait pertama bersajak abab, bait
kedua bersajak aabc, dan bait ketiga
bersajak aabcc.
Dalam puisi ini digunakan pula
perulangan bunyi alitrasi (perulangan bunyi konsonan) kabut-kupagut, sekarang-ranjang, asah-basah dan asonansi
(perulangan bunyi vokal) terkulai-belai,
diburu-berdebu. Bahasa yang dipakai adalah bahasa kias. Banyak sekali
ungkapan-ungkapan yang digunakan, bahkan hampir semua kalimatnya merupakan
makna konotatif. Selain itu banyak pula dijumpai gaya sinisme, sehingga untuk
memahami puisi Chairil Anwar diperlukan penjiwaan yang kuat dan tidak dapat
dimaknai begitu saja.
Puisi ini merupakan puisi yang bersifat
patriotik. Dari judulnya saja CATETAN TH. 46, mengingatkan kita pada peristiwa
kesejarahan. Untuk mengetahui makna puisi lebih jelas, akan diapresiasi dari
segi semantiknya.
Misalnya pada baris pertama, kata tangan mewakili
keseluruhan diri si aku. Baris ini menyatakan diri si aku yang tidak berdaya.
Kata tangan dipilih karena tangan merupakan pusat dari seluruh kegiatan tubuh.
Jika tangan sudah lemah, maka kegiatan tubuh pun ikut terganggu sehingga orang
tak mampu bekerja dan berusaha lagi.
Pada baris kedua, pandangan si aku
mulai kabur, dan tidak dapat melihat apapun yang menyenangkan. Baris ketiga
bermakna si aku mulai kehilangan orang-orang yang dicintai dan segala sesuatu
yang membuatnya hidup. Pada baris keempat maksudnya, si aku membuat suatu karya
untuk menyatakan bahwa dirinya pernah hidup dan pernah ada di dunia. Karya
tersebut diciptakan agar ia tetap dikenang orang lain meskipun telah meninggal.
Pada baris kelima, kata anjing
menjelaskan bahwa kita sedang ada dalam situasi yang kacau, seperti anjing
tidak mempunyai kehormatan dan dipandang rendah. Sedangkan kata diburu berarti
kita tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai, istirahat merasa gelisah dan
penuh ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kejadian atau peristiwa yang kita lihat
hanya sedikit saja. Kita tidak dapat melihat suatu peristiwa selengkapnya,
tidak dapat menyaksikan kehidupan ini secara utuh.
Hal ini depertegas pada baris keenam. Seperti halnya
drama Romeo dan Juliet, tidak sampai selesai sehingga kita tidak tahu mereka
betemu di ranjang atau di kuburan.
Pada bait terakhir bermakna lahirnya
seorang pahlawan membawa korban matinya beratus ribu rakyat. Oleh karena itulah
peristiwa tersebut harus dicatat dan diingat. Setelah merdeka, kita tidak perlu
takut akan penjaja Jika perang telah selesai, hanya kenangan menyedihkan yang
tertinggal dan itu adalah masa lalu. Setelah perang, segalanya terserah kepada
kita. Apakah kita akan bersungguh-sungguh mengejar arti hidup ini, yaitu
bekerja keras, berjuang demi pribadi dan kemanusiaan atau menyerahkan nasib
pada generasi penerus. Oleh karena itu jangan bersantai-santai, bekerja
keraslah dan berusaha perhatian hingga tidak sempat mengerdipkan mata, yang
berarti pula menyelami kehidupan dengan sungguh-sungguh. Bekerja keras untuk
mengisi kehidupan yang masih kosong, belum ada isinya. Bekerja demi kehidupan
dan untuk hidup di dalam kehidupan ini.
Analisis
SemiotikPuisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar
Analisis semiotik adalah analisis sajak yang bertujuan
memahami makna sajak. Menganlisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi
makna kepada teks sajak. Dalam analisis semiotik ini menggunakan analisis
matrik atau kata kunci yang terdapat dalam sajak, analisis heurustik dan
hermeneutik atau penafsiran interprestasi / pemahaman teks.
Ada
tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Dalam sajak “Catetan TH. 1946” tersebut pada baris pertama
dipergunakan sinekdoki pars pro toto yaitu “tangan” untuk menyatakan
keseluruhan diri si aku. Tangan yang jemu terkulai menyatakan diri si aku yang
tak berdaya. Dipergunakan itu karena tangan itu merupakan pusat kekuatan
bekerja. Jika tangan terkulai berarti seluruh diri akan tak berdaya, dalam arti
orang sudah tidak dapat bekerja dan berusaha lagi. Begitu juga suara (bait
pertama baris ketiga) menyatakan orang yang memiliki suara itu, yaitu kekasih,
istri, anak, atau orang-orang yang dicintai. Suara merupakan pusat perhatian
yang paling menarik hati si aku, maka itulah yang ditonjolkan. Lebih jauh lagi,
suara yang dicintai itu dapat berarti suara-suara kehidupan sendiri yang
dicintai oleh si aku, suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup.
Citraan
Citra visual / penglihatan. Citra visual yang konkret
terdapat dalam sajak “Catetan TH. 1946” yaitu terletak pada “mainan cahaya di air hilang bentuk dalam
kabut”. Begitu juga untuk mengkongkretkan tanggapan bahwa si aku sendiri
mesti membuat kenangan (peringatan) bagi dirinya sendiri, untuk menyatakan
bahwa dirinya pernah ada, pernah hidup di dunia.
PENUTUP
Sebelum dilakukan analisi karya
sastra perlu dipahami maknanya dengan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan
berupa heuristic dan pembacaan retroaktif atau hermeneutic.
Pembacaan heuristik adalah
pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut
konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau hermeneutika adalah
pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda
semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra.
Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaannya,
tetapi juga makna (significance)
kesastraannya.
Pembacaan
heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra
atau sajak tersebut belum lengkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus
diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara
hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua.
Setelah memahami makna puisi di atas,
kita tahu bahwa melalui puisi tersebut penyair ingin bercerita tentang keadaan
pada saat itu. Banyak sekali nilai-nilai kehidupan dan perjuangan yang
terkandung dalam puisi “CATETAN TH. 46”. Puisi ini memberi tahu kita tentang
keadaan saat Indonesia dijajah dan tindakan setelah kemerdekaan. Pada masa
penjajahan, suasana sangatlah kacau, diselimuti rasa takut dan gelisah. Banyak
korban berjatuhan hanya untuk merebut kemerdekaan. Setelah kemerdekaan diraih,
kita wajib mengisinya dengan hal-hal yang positif.selalu bekerja keras dan
berusaha untuk hidup. Tidak menyerahkan nasib begitu saja kepada generasi muda
yang sedang memimpin pemerintahan pada saat itu. Selain itu tidak lupa pula
kita harus mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan, berkat kegigihan mereka
kita dapat merasakan indahnya hidup di era kemerdekaan
Referensi
Anwar, Chairil. 2006. Deru
Campur Debu. Jakarta : Dian Rakyat
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra: Sebuah
Pengantar. Jakarta. Gramedia
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Baccarat | Unbiased Reviews from a US Online Casino
BalasHapusThe Baccarat card game 바카라 사이트 is quite similar to the conventional American version. Instead of a hand of worrione 10 hands 인카지노 each of players is dealt two cards and a five